Screenshot_2022-06-21-09-00-18-67-233592e8
Kabar Pariwisata

Telah Terjadi Perang Antar Warga dan Disaksikan Ribuan Penonton, Perang Obor Tegalsambi Digelar

JEPARA – Dengan Adzan dan iqomah serata sholawat dan iringan rebana, dua pusaka desa dibawa oleh dua bayan leger diiringi perangkat desa Forkofimcam dan Forkopimda Jepara menuju panggung kehormatan, tempat perang obor dilgelar Bersama, juga warga selaku peserta perang yang akan melakukan tradisi budaya warisan Kyai Babadan dan Ki Gemblong.

Petinggi Desa Tegalsambi Agus Santoso dan kedua bayan leger pembawa pusaka.

Sebelum digelar perang obor, ada ritual khusus di perempatan Tegalsambi untuk meminta perlindungan Allah dan juga leluhur yang dipimpin oleh Petinggi Tegalsambi Agus Santoso didampingi dua Bayan Leger, Slamet Riyadi dan Slamet Sakdulah.

Edy Sujatmiko Sekda Jepara saat menyulutkan api tanda Perang Obor akan dimulai Usai ritual doa kemudian rombongan perang obor dan rombongan menuju depan panggung kehormatan. Usai laporan Petinggi Tegalsambi, Edy Sujatmiko selaku sekda Jepara yang mewakili Pj Bupati Jepara membuka even ini.

Edy mengajak seluruh warga masyarakat untuk melestarikan budaya Perang Obor. Edy Sujatmiko juga mendukung penciptaan tari khas Perang Obor.

Budaya ini bermula dari pertengkaran antara Kyai Babatan dan Ki Gemblong. Kyai Babadan marah karena hewan miliknya yang dipelihara Ki Gemblong tidak dirawat hingga sakit.

Dalam kemarahannya Ki Babadan memukul Ki Gemblong dengan api. Anehnya percikan api itu kemudian menyembuhkan puluhan hewan yang sakit, maka dari itu jadilah kebudayaan sampai saat ini.

Perang obor Tegalsambi, 

Setelah mengetahui kenyataan itu mereka berdua pun akhirnya menghentikan perkelahian mereka. Bahkan kemudian mereka bersama-sama mengumpulkan kembali sapi yang berlari keberbagai penjuru dan membuatkan kandang yang lebih baik.

Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu anak cucu Kiai Babadan dan Ki Gemblong melakukan upacara perang obor di Tegalsambi untuk mengenang kedua tokoh tersebut. Upacara perang obor ini sekaligus dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang memberikan pengaruh buruk berupa penyakit dan mengganggu penduduk Tegalsambi, Mudah mudahan dengan adanya perang obor semua penyakit seperti sama cerita ini bisa menghilangkan wabah seperti saat ini seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Sedangkan obor pada upacara tradisional ini adalah gulungan dua atau tiga pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering yang dalam bahasa Jawa disebut klaras.

Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama dan digunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga terjadi benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran api yang besar. Pjaran itu disebut Perang Obor.

Sekda Edy Sujatmiko saat menerima souvenir batik motif Perang Obor dari Petinggi Tegalsambi Agus Santoso

Upacara tradisional Perang Obor diadakan setiap setahun sekali, yang jatuh pada hari Senin Pahing malam Selasa Pon bulan Besar atau Dzulhijah. Acara ritual ini diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat desa Tegalsambi terhadap peristiwa pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut yaitu peperangan Ki Babadan dan Ki Gemblong.

Kirab pusaka Gendir merupakan warisan Sunan Kalijaga. Upacara kirab pusaka ini dilengkapi dengan pergelaran wayang kulit. Prosesi ini dilakukan dengan mengarak pusaka berupa dua buah pedang yaitu pedang Gendir dan pedang Gampang serta sebuah arca, dan sebuah Bedug Dobol, yang dipercayai sebagai warisan Sunan Kalijaga kepada dua kebayan Leger Tegalsambi waktu itu.

Kedua pedang kayu itu konon merupakan serpihan kayu dan potongan seng yang dipakai membangun Masjid Demak. Pusaka ini disimpan oleh Petinggi dan dua Kebayan Leger.

Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dahulu diadakan ziarah di makam Mbah Tegal, mbah Sidi Moro, mbah Babatan, mbah Surgi Manis, mbah Tunggul Wulung, dan mbah Surogaten. Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang tidak pernah dipakai untuk membajak.

Penyembelihan itu dilakukan di rumah Petinggi yang dilakukan oleh kebayan Leger desa Tegalsambi. Sedangkan sesaji ditaruh di sebuah kendil di dalamnya terdapat darah kerbau, jeroan, dan daging yang sudah dimasak. Sesaji ini diperuntukkan bagi para luluhur yang dipercayai ikut menjaga keselamatan Desa Tegalsambi, dan merupakan ramuan penyembuh luka bakar.

Sebelum api obor disulut pada, Petinggi Tegalsambi diarak oleh sekitar 50 pasukan obor. Prosesi ini dimulai dari rumah Petinggi hingga kepusat upacara di perempatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat Jawa diapit pawang api dan sesepuh desa.

Tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai seragam khusus, bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon keselamatan kepada Allah dan juga ijin dari leluhur pun dilakukan. Kemenyan dibakar kemudian diiringi gending Kebo Giro, sebanyak 50 orang dari empat jurusan di jalan desa Tegalsambi berjalan menuju ke perempatan jalan. Mereka sejenak berdiri saling berhadapan dalam kondisi obor telah dinyalakan.

Tibalah saat ritual Perang Obor. Tiba-tiba dengan suara keras salah seorang pemimpin pasukan berteriak, serang. Mendengar teriakan itu, anggota pasukan lari dari empat arah berlawanan diperempatan jalan. Mereka bertemu di tengah dan langsung saling memukul. Api yang berkobar diujung obor mereka arahkan ke kepala lawannya.

Upacara berlangsung bukan hanya di perempatan desa tetapi juga di sepanjang jalan di sekitar perempatan. Diiringi sorak-sorai dan jerit ketakutan para penonton, mereka saling pukul dengan obor selama hampir satu jam. Percikan bunga api Perang Obor ini menjadi pemandangan yang begitu magis.

Seusai upacara perang obor, pasukan langsung menuju rumah Petinggi Tegalsambi. Diantara mereka dipastikan ada yang luka karena terbakar. Namun mereka tidak mengeluh atau merasa kesakitan.

Sebab mereka tahu bahwa secara turun-temurun pengobatan untuk luka bakar karena perang obor dapat dilakukan oleh istri Petinggi dengan cara mengoleskan minyak londoh pada bagian yang luka. Anehnya, luka ini langsung sembuh seketika.

Secara turun-temurun setiap malam Jumat, Petinggi Tegalsambi dan 2 kebayan Leger selalu mengadakan ritual doa untuk keselamatan masyarakat di desa tersebut. Doa tersebut dilakukan secara rutin dan sungguh-sungguh. Dalam ritual ini menggunakan sesaji kembang telon. Dengan tekun Petinggi Tegalsambi mengumpulkan bunga yang kering dan disimpan disebuah tempat khusus.

Jika waktu prosesi Perang Obor tiba, bunga kering ini kemudian dicampur dengan minyak kelapa dengan disertai doa dan laku khusus. Minyak inilah yang kemudian dikenal sebagai minyak londoh. Minyak londoh ini oleh masyarakat setempat dipandang sebagai keajaiban dari doa yang tulus kepada Allah.

Ribuan penonton antusias sekali menyaksikan tradisi ini kerana lama tidak digelar,tidak hanya dari Jepara, mereka berdatangan dari luar kota,termasuk turis asing terlihat banyak sekali yang datang untuk menyaksikan Perang Obor.

 

Reporter : Bang Yos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *