IMG-20211115-Bung Tomo : Yakinlah Kita Pasti Menang "Air Sumber Kehidupan"-15869348
Kabar Edukasi

Bung Tomo : Yakinlah Kita Pasti Menang “Air Sumber Kehidupan”

Bali- Etika bangsa dan Negara Indonesia memperingati hari Pahlawan setiap 10 Nopember maka sosok Pahlawan Bung Tomo pasti menjadi sosok yang menarik untuk dibicarakan. Bung Tomo pernah menyampaikan: “Yakinlah saudara- saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada pihak yang benar. Percayalah saudara- saudara Tuhan akan melindungi kita sekalian. Merdeka!!!

Sebagaimana sudah pernah diutarakan dalam pemberitaan media pers Globe Indonesia.com, Biro Buleleng, Bali dalam Bulan November 2021 akan mengangkat tema- tema perjuangan, semangat nasionalisme yang dikaitkan dengan makna hari Raya Galungan dan Kuningan yang dilakukan oleh umat Hindu.

Semua agama di tanah air Indonesia mengunakan air sebagai sarana penunjang dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Dalam agama Hindu disebut Tirta atau air suci, Katolik/ Kristen ada istilah air Pembatisan, juga dalam agama lain seperti dalam agama Islam ada Air Wudhu. Kehidupan manusia dan alam semesta tidak dapat dipisahkan dengan air.

Air yang dalam bahasa Bali disebut Yeh, Banyu, yang lebih halus atau lebih bermakna khusus disebut tirta. Dan ada sebuah Pura yang bernama Pura Tirta Ketipat. Ketipat dalam bahasa Indonesia Ketupat. Pura tersebut terletak di dataran tinggi sekitar 1.200 meter dari permukaan air laut atau wilayah pegunungan yang disebut Batu Mejan. Kini secara administrasi pemerintahan wilayah tesebut masuk dalam wilayah Dusun Yeh Ketipat, Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Keberadaan serta sejarah adanya Pura Tirta Ketipat tidak terlepas dari Perjalanan sejarah berdirinya Kerajaan Buleleng, yang didirikan oleh Ki Barak Panji Sakti, yang juga Pendiri Kota Singaraja, yang saat masa kecil dipanggil Ki Barak.

Tak ada yang mustahil jika Tuhan berkehendak dan Tuhan selalu berada pada pihak yang benar, sebagaimana orasi pidato Bung Tomo yang penulis cantumkan di atas.

Dalam sejarah Buleleng disebutkan, dalam tahun Icaka Warsa 1482 atau tahun 1560 Masehi, Beliau, Ki Barak disertai dengan sejumlah prajurit Kerajaan Gelgel melakukan perjalanan dari Kerajaan Gelgel( kini wilayah Kabupaten Klungkung) ke Den Bukit ( kini Kabupaten Buleleng) melalui Mengwi, kaki bukit Manggu, pesisir Danau Beratan ( kini dikenal dengan kawasan pariwisata Bedugul, Kabupaten Tabanan), daerah Benyah( kini bernama Desa Pancasari), kemudian mendaki melewati Batusage atau Batu Mejan, sebelah timur Danau Buyan ( kini masuk wilayah Kabupaten Buleleng). Mereka beristirahat di suatu tempat yang sekarang disebut Puncak( Km 21 dari kota Singaraja, melewati Desa Gitgit menuju Bedugul) sambil menikmati perbekalan berupa ketupat atau ketipat dalam Bahasa Bali. Namun mereka lupa membawa air minum, sumber air cukup jauh yakni di Danau Buyan.

Di saat itu terdengar suara gaib yang diduga berasal dari keris yang dibawa oleh Ki Barak, yang bunyinya: Ayute semang- semang kahyun, tinike ikang lemah mijilte sireng banyu, yang artinya tancapkanlah diriku pada dinding tebing maka engkau akan memperoleh air amertha. Setelah perkataan itu dilaksanakan, secara ajaib keluar air dari tempat yang ditancapkan keris tersebut. Sejak kejadian itu, tempat tersebut dinamai Tirta Ketipat.

Mata air tersebut hingga kini masih ada dan tidak pernah kering. Sedang keris sakti tersebut, sejak kejadian itu diberi nama Ki Baru Semang.
Di tempat tersebut kini sudah berdiri sebuah Pura yang bernama Tirta Ketipat.

Salah seorang warga Dusun Yeh Ketipat, Desa Wanagiri, Putu Sudiaman, yang akrab dipanggil Tu Aman, yang juga sebagai Klian Tempekan( red: kepala wilayah di bawah Dusun atau Banjar dinas dalam Desa),anak dari Nyoman Resep yang pernah menjadi Kelian Subak di Desa Wanagiri, menuturkan bahwa: “Sangat banyak umat Hindu dari berbagai daerah Nunas tirta( red: nunas = memohon atau meminta air suci) di Pura Tirta Ketipat.

Bahkan setiap hari ada saja yang berdoa di Pura tersebut karena dalam perjalanan mampir sejenak untuk berdoa”, ujar Tu Aman, yang juga ketua kelompok suka duka Tirta Nadi, yang berlokasi di Deaa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.

Di Bali ada Subak yang merupakan warisan para leluhur Bali. Warga dunia yang pernah datang ke Bali tahu tentang Subak, setidaknya mendengar kata Subak. Secara sederhana Subak bisa diartikan sistem pertanian, tata kelola air untuk irigasi pertanian di Bali.

Hasil penelusuran Penulis banyak lahan pertanian berkurang akibat pertambahan penduduk yang tentunya menyebabkan alih fungsi lahan terbuka, termasuk lahan pertanian menjadi perumahan maupun pembangunan fasilitas publik dan bisnis yang bisa membuka peluang penyerapan tenaga kerja.

Ibarat pepatah makan buah simalakama. Satu sisi manusia bertambah, butuh rumah, butuh pekerjaan, disisi lain lahan pertanian yang beralih fungsi bisa menimbulkan krisis pangan karena berkurangnya lahan pertanian. Solusi menghadapi “buah simalakama” tersebut, perlu dibahas oleh para Pakar, termasuk pihak Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/ Kota di Propinsi Bali.

Penulis sempat berdiskusi dengan pendiri ALC dan KITA Indonesia, I Nyoman Baskara.
Apa itu ALC dan Kita Indonesia sudah pernah Tim Globe Indonesia.com , Biro Buleleng, Bali beritakan.
Menurut Penulis, pendapat I Nyoman Baskara bisa sebagai bahan rujukan juga. Ketika lahan pertanian berkurang maka pola intensifikasi pertanian bisa sebagai salah satu solusi.

Baskara menyampaikan bahwa: “Ada 5 misi yang perlu dilakukan, yakni: melakukan usaha tani berbasis manajemen modern, mewujudkan ketahanan pangan dengan menerapkan teknologi pertanian, meningkatkan kesejahteraan Petani, membangun posisi tawar Petani dan menciptakan wira usaha mandiri” , ujar Baskara bersemangat.

Ia menambahkan bahwa: “Subak sebagai warisan para leluhur Bali tidak terlepas dengan Konsep Tri Hita Karana. Pada tempat pertama Ida Sang Hyang Widi Wasa harus dimuliakan. Dalam setiap kelompok Subak pasti ada Pura Subak, tempat persembahyangan dari warga Subak, dan menggunakan juga air suci atau tirta dalam persembahyangan.
Mari kita pelihara, agar air sebagai sumber penopang kehidupan tetap lestari, tidak tercemar.

Jangan sampai kelak anak cucu kita mencucurkan air mata yang berlinang karena mata air yang saat ini ada menjadi kering kerontang di musim kemarau. Ini salah satu wujud bakti kita dalam meneruskan perjuangan para Pahlawan, para leluhur Bangsa dan Negara Indonesia yang juga sebagai perbuatan dharma atau kebenaran, kebaikan yang selalu menang melawan adharma atau kejahatan, yang oleh umat Hindu dirayakan sebagai hari Raya Galungan dan Kuningan” , tutup Baskara yavg berdomisili di Kota Denpasar, Ibu kota Provinsi Bali.

Tim Biro Buleleng, Bali.
Penulis:
Lambertus Theo, S.Sos.
Ketut Sopandana, S.P.
I Wayan Subaga Arimbawa, S.T.
Emanuel Deus L.T.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *