Oleh : Dahlan Iskan
KALI ini yang mendapat giliran meninggal karena Covid-19 adalah ulama perempuan: Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo, 77 tahun. Beliau guru besar ilmu fikih Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga Rektor Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta. Beliau doktor pertama wanita Indonesia lulusan Al-Azhar, Kairo, Mesir.
“Kini sudah lebih 900 ulama Islam yang meninggal karena Covid-19,” ujar Prof Dr Cholil Nafis di live Zoom pemakaman almarhumah kemarin siang. Prof Cholil adalah guru besar di UIN dan juga salah satu ketua majelis ulama pusat. Saya mengikuti live Zoom pemakaman itu sampai selesai: pukul 14.00. Yang dimulai sejak pukul 09.00. Sejak jenazah masih di rumah sakit umum daerah di Serang, Banten.
Begitu jauh beliau dirawat. Tidak ada satu pun rumah sakit di Jakarta yang masih punya kamar. Lebih 17 orang ikut berbicara di Zoom kemarin. Mereka para doktor yang pernah beliau bimbing. Termasuk yang sedang di Mesir, London, dan Kuala Lumpur. Juga tokoh-tokoh di luar UIN.
Tampil juga murid beliau seperti Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba. Beliau lebih banyak menangis di depan layar. Giliran orang luar tampil: Rektor UI Prof Dr Ari Kuncoro. Ketika dipersilakan tampil ternyata sudah tidak ada di Zoom.
Prof Dr Raden Syarif Rahmat, sesama guru besar di UIN, juga terus terisak. Kumisnya yang sangat tebal dan rambutnya yang dibiarkan panjang hampir sebahu membuat beliau seperti kehilangan keangkerannya. Beliau begitu sedih.
“Prof Huzaemah itu puncaknya ulama wanita Indonesia,” katanya. “Dua anak perempuan saya sekarang kuliah di Al-Azhar juga karena Prof Huzaemah,” ujarnya. Sedang anak perempuannya yang satu lagi kuliah di Maroko. Prof Dr Abd Rahman Dahlan bercerita tentang nasib mereka yang sama-sama terkena Covid-19. Sama-sama guru besar di UIN.
Waktu itu tanggal 26 Juni 2021. “Saya bertemu beliau di RS UIN,” ujarnya. “Saya ke RS karena badan panas dan demam. Saya ingin PCR. Ternyata positif,” kata Prof Abd Rahman. “Beliau juga lagi panas dan demam. Tapi beliau lebih mengeluhkan sakit di pinggang. Kata beliau tidak tertahankan,” ujarnya.
Prof Huzaemah lahir di Donggala, Sulteng. Dia masuk sekolah di Al-Khairat, Palu. Sejak SD, sampai perguruan tinggi. Juga mengajar di Al-Khairat –sehingga sehari-hari dipanggil Ustazah. Lalu kuliah lanjutan di Al-Azhar, Kairo.
Disertasi S-3 Huzaemah adalah tentang perbandingan mazhab dalam Islam. Dia meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude. Buku-bukunyi, terutama Pengantar Ilmu Perbandingan Madzhab, terus jadi pegangan mahasiswa.
Prof Dr Euis Nurlaekawati, yang juga tampil di Zoom menyebut Prof Huzaemah adalah pendiri prodi perbandingan madzhab di UIN Jakarta. Saat predikat itu disampaikan di depan orang banyak, Prof Huzaemah bilang, “Itu tidak benar, saya hanya memberi saran”.
Di kalangan cendekiawan Islam ,Prof Huzaemah dikenal sebagai ulama dua kaki. Dia setuju dengan peran lebih bagi wanita di zaman modern ini. Tapi wanita tidak boleh meninggalkan peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu.
Ketika Megawati Soekarnoputri akan menjadi calon presiden, Prof Huzaemah tidak mempersoalkan. “Wanita boleh menjadi pemimpin. Asal dijamin lebih banyak manfaatnya bagi agama dan negara. Kan dibantu para menteri,” ujar Prof Dr Amany Lubis, mengutip pendapat almarhumah.
Prof Amany Lubis adalah perempuan pertama menjadi rektor UIN Jakarta. Prof Amany sangat dekat dengan almarhumah. Apalagi sama-sama lulusan Kairo, Mesir. Bahkan Prof Amany sejak SMP sudah di Mesir. Mendapat beasiswa. Sampai di Universitas Kairo. Gelar doktornya pun di sana. Dengan disertasi: Sistem Politik Dinasti Mamluk. Itulah dinasti yang berkuasa selama tiga abad di dunia Arab. Yang kekuasaannya sampai Iraq, Syria, dan Mesir. Setelah dinasti Mamluk runtuh, mulailah berkuasa dinasti Turki Usmani (Ottoman).
Prof Amany boleh dibilang ”Putri Mesir”. Ia lahir di Mesir. Dari rahim ibu seorang wanita Mesir: Nabilah. Saat dikawini ayahnyi, Nabila belum bisa membayangkan Indonesia itu seperti apa. Amany pun lahir di sana. Nabilah dan bayinyi lantas diboyong ke Indonesia. Nabila ahli di bidang perpustakaan –yang masih langka di Indonesia saat itu.
Ayahanda Prof Amany, Prof Burhanuddin Lubis, memang kuliah di Mesir. Lalu kecantol wanita di sana. Agak banyak yang seperti itu -waktu itu. Termasuk Harun Nasution –kelak di tahun 1980-an juga menjadi profesor, doktor, dan rektor UIN.
Nabilah sendiri, di Indonesia, akhirnya juga menjadi profesor dan doktor. Juga pernah menjabat Wakil Rektor Institut Ilmu Alquran Jakarta. Di samping, tentu, menjadi guru besar di UIN Jakarta. Kalau Prof Huzaemah rektor wanita pertama di IIQ, Prof Nabilah adalah wakil rektor pertama IIQ.
Bekalangan memang banyak wanita menjadi pimpinan perguruan tinggi Islam. Di IAIN Lampung, Bukittinggi, Kendari, Majene, Ponorogo, rektornya perempuan.
Prof Amany sendiri punya jaringan internasional yang kuat. Kemampuannyi berbahasa Arab, Inggris, dan Prancis membuat dia sering keliling dunia. Saya sempat melihat YouTube ketika Prof Amany berpidato di depan raja Maroko. Ada lambang merah putih di bagian dadanyi.
Prof Amany memutuskan agar Prof Huzaemah dimakamkan di pemakaman khusus di kampus UIN. Dari RSUD Banten, jenazah dibawa ke kampus IIQ dulu di Sawangan, Depok. Lalu dibawa ke pemakaman. Sudah banyak guru besar UIN dimakamkan di situ: Prof Thoha Umar, Prof Sadali, Prof Harun Nasution…
Bagaimana Prof Huzaemah sampai meninggal di RSUD Banten yang begitu jauh?
“Malam itu kami sudah keliling 11 rumah sakit di Jakarta. Semua penuh,” ujar Dr Syarif Hidayatullah, satu-satunya putra beliau.
Ketika Syarif masih mencari rumah sakit yang lain lagi, kadar oksigen Prof Huzaemah terus menurun. Menjadi 80. Turun lagi ke 70. Turun terus ke 60 dan berlanjut ke 50-an.
Syarif belum juga mendapat rumah sakit. Malam semakin larut. Penanggalan sudah pindah ke 14 Juli 2021. Kadar oksigen Prof Huzaemah turun lagi tinggal 40-an.
Diputuskanlah agar beliau dibawa ke mana pun. Asal mendapatkan rumah sakit. Yang masih ada jauh sekali: di Banten. Maka beliau dilarikan ke Banten. Tidak menunggu Syarif pulang dari keliling Jakarta. Khawatir keburu kian buruk.
Cari ambulans pun tidak dapat. Yang ada mobil Kijang Innova lama.
Syarif minta tolong temannya mengemudikan mobil itu. Sang ibu dinaikkan ke kursi tengah. Berbaring di situ. Dipangku keponakan.
Mobil pun meninggalkan Jakarta. Menuju Banten. Pukul 03.00 menjelang subuh Prof Huzaemah baru tiba di sana.
Sembilan hari kemudian Prof Huzaemah meninggal dunia. Jumat pagi kemarin.
Sang suami, Prof Dr Abd Wahab Abd Suhaimi, juga guru besar di UIN Jakarta, menunggu jenazah tiba di Jakarta. Aman. Tidak terjangkit Covid-19.
Prof Huzaemah menyelesaikan S-1 di Universitas Al-Khairat, Palu, dengan S-2 dan S-3 di Mesir. Sang suami mendapat S-1 di Mesir dengan S-2 dan S-3 di UIN Jakarta.
Tapi suami-istri ini sama-sama asal Sulteng. Sama-sama warga Al-Khairat. Sama-sama mengajar di Universitas Al-Khairat. Mereka menikah di Palu.
Setelah meraih doktor di Mesir pun Huzaemah kembali mengajar di sana. Suami-istri ini pengabdi yang sesungguhnya untuk Al Khairat.
Ketika guru besar Al Khairat sakit, keduanya masih di pesantren itu. Yang saya maksud dengan guru besar adalah ulama terkemuka yang mendirikan Al-Khairat di tahun 1930: Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri.
Habib Idrus lahir di Hadramaut (sekarang: Yaman). Al Khairat pun menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia Timur. Anggotanya 16 juta orang. Cabangnya di seluruh Indonesia, pun sampai ke Malaysia.
Suami-istri ini begitu mencintai dan dicintai sang Habib. Dari Habib Idrus-lah semua ilmu mereka dapat. Mereka akan selalu hormat. Selamanya.
Ketika Prof Abd Wahab dan Prof Huzaemah membangun rumah di dekat UIN, mereka mengkhususkan membangun 1 kamar depan untuk sang guru besar.
“Setiap beliau ke Jakarta tidur di kamar depan itu. Tidak ada orang lain yang pernah tidur di situ,” ujar Syarif.
Itu ketika Habib Idrus masih hidup. Kebiasaan itu diteruskan oleh putra Habib Idrus ketika sang pewaris Al-Khairat itu ke Jakarta. Demikian juga ketika kepemimpinan Al-Khairat kini dipegang sang cucu: Habib Saggaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim al-Jufri.
Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sekarang, Habib Salim Al Jufri, adalah juga cucu pendiri Al-Khairat.
Begitu langka ulama besar wanita. Covid-19 tega benar mensyahidkannya.