IMG-20250604-WA0007
Kabar Olahraga

Di Antara Matras dan Buku: Jejak Nuryanti, Mahasiswi PGSD yang Mengharumkan Nama Kampus Lewat Silat

Bima — “Waktu itu saya menangis di luar gelanggang. Point kami sama, tapi lawan saya yang dinyatakan menang. Rasanya campur aduk. Kaget, sedih, nggak percaya.”

Begitulah Nuryanti mengenang salah satu momen paling emosional dalam perjalanannya sebagai atlet pencak silat. Ia bukan sekadar mahasiswi biasa. Di balik sosoknya yang kalem dan rendah hati, ia adalah pejuang di atas matras, sekaligus pembelajar di ruang kuliah.

Nuryanti, mahasiswi semester empat Program Studi PGSD STKIP Taman Siswa Bima, berasal dari Desa Dore, Kecamatan Palibelo. Sejak SMA, ia jatuh cinta pada dunia silat. Bukan karena ingin jadi petarung, tapi karena silat punya nilai yang dalam: disiplin, pengendalian diri, dan rasa hormat. “Silat itu bukan cuma olahraga. Ada budayanya, ada filosofinya,” katanya.

Awal Mula Jatuh Cinta pada Silat

Ketika teman-temannya sibuk ikut ekskul lain, Nuryanti justru terpikat oleh gerakan silat yang menurutnya artistik dan penuh makna. Ia tidak hanya menikmati jurus-jurus yang dipelajari, tapi juga semangat kebersamaan saat latihan.

“Latihan bareng itu rasanya beda. Capek, tapi rame. Kita sama-sama berjuang, saling dorong, saling semangatin,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Prestasi dan Momen Tak Terlupakan

Salah satu prestasi terbesarnya adalah saat bertanding di kejuaraan nasional Bima Championship 1 tahun 2025. Ia berhasil menyumbangkan medali perunggu untuk STKIP Taman Siswa Bima. Bahkan timnya keluar sebagai Juara Umum 1 tingkat dewasa. Sebelumnya, ia juga pernah bertanding di Champions 2 di Lombok.

Namun, kemenangan bukan satu-satunya hal yang membekas. Justru kekalahan tipis saat final menjadi pengalaman paling dalam. “Saya keluar gelanggang langsung nangis. Tapi ya dari situ saya belajar. Nggak semua yang kita perjuangkan hasilnya sesuai harapan. Tapi prosesnya tetap berharga.”

Tantangan Mahasiswa dan Atlet

Menjadi mahasiswa dan atlet bukan perkara ringan. Pagi kuliah, sore latihan. Waktu istirahat? “Ada sih, meski cuma sebentar. Yang penting bisa rebahan sebentar,” katanya sambil tertawa.

Ia mengaku, tantangan terbesar justru bukan lelah fisik, tapi menjaga fokus dan konsistensi. “Kadang latihan berat, terus malamnya harus ngerjain tugas. Tapi karena ini dua hal yang saya cintai, saya jalani aja.”

Dukungan dari Pelatih, Keluarga, dan Kampus

Nuryanti menyebut nama pelatihnya dengan penuh rasa hormat: Agus Supriadi, S.Pd. “Kalau bukan karena beliau, mungkin saya nggak bisa sejauh ini. Beliau sabar banget, selalu mendorong kami buat terus maju.”

Dukungan juga datang dari orang tua dan pihak kampus. “STKIP Taman Siswa Bima sangat suportif. Kami difasilitasi, diberi izin saat bertanding, bahkan diapresiasi setelah pulang. Rasanya dihargai banget sebagai mahasiswa yang punya minat di luar akademik.”

Silat telah mengubah cara Nuryanti memandang hidup. Bukan hanya sebagai olahraga, tapi juga sebagai guru kehidupan. Di situ ia belajar bangkit, menghargai proses, dan tetap rendah hati meski menang. “Kalau kamu cinta sesuatu, kejar aja. Jangan takut beda. Selama kamu serius, Tuhan akan bukakan jalannya,” katanya menutup percakapan.

Kini, Nuryanti tak hanya bercita-cita menjadi guru SD, tapi juga pelatih silat dan penggerak budaya lokal. Ia ingin menunjukkan bahwa mahasiswa bisa berprestasi dari berbagai sisi. Asal ada niat, dukungan, dan semangat yang tak mudah padam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *