Perluasan Peran Advokat dalam KUHAP Baru yang secara Implisit Mengatasi Abuse of Power Penyidik terhadap Terperiksa di Kepolisian
Kabar Hukum

Perluasan Peran Advokat dalam KUHAP Baru yang secara Implisit Mengatasi Abuse of Power Penyidik terhadap Terperiksa di Kepolisian

Sungguh ironisnya ketika mendengar atau membaca suatu berita yang menyampaikan bahwa telah terjadi salah tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu seorang penyidik yang lalai dalam melaksanakan tugasnya dalam memberantas suatu tindak pidana. Rasanya sudah menjadi rahasia umum dibenak masyarakat sehingga menimbulkan stereotipe mengenai sifat penyidik yang sering terdengar kejam dan kasar dalam menangkap dan memeriksa seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini telah terekam secara linimasa yang menunjukkan tidak jarang oknum penyidik yang lalai ketika melaksanakan tugasnya sehingga menimbulkan luka, baik secara fisik maupun batin bagi mereka yang menjadi korban salah tangkap. Bahkan, apabila ditarik panjang nasib mereka sebagai korban salah tangkap selalu berujung miris dengan jalan yang berliku untuk memulihkan keadaanya seperti semula dan kembali diterima masyarakat. Lantas, bagaimana langkah konkret Pemerintah Indonesia sebagai Duty Bearers dalam menanggulangi rekam jejak yang dinilai sangat buruk dan menjadi momok yang menakutkan bagi para Rights Holders, yakni masyarakat agar tidak terperangkap dengan jebakan stereotipe yang sudah menjadi rahasia umum sebagaimana secara nyata dijelaskan di atas.

Pada Selasa, 18 November 2025, Pemerintah Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi undang-undang yang akan berlaku secara efektif pada 2 Januari 2026 mendatang bergandeng tangan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam hal ini cukup membawa angin segar dan rasanya bisa mematahkan stereotipe yang selama ini mengakar kuat dalam benak masyarakat terkait dengan kesewenang-wenangnya oknum penyidik dalam menangkap dan memeriksa seseorang yang statusnya masih “diduga” melakukan tindak pidana. Tepatnya, pada Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada intinya mengatur bahwa kini seseorang berhak didampingi oleh seorang Advokat ketika menjalani pemeriksaan di Kepolisian. Apabila masih terjadi kesewenang-wenang oknum penyidik, maka Advokat dapat menyatakan keberatan. Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara tidak langsung juga menguatkan Asas Praduga Tak Bersalah yang mana seseorang wajib dianggap tak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap bahwa ia terbukti bersalah.

Selaras dengan Misi Demokratisasi Hukum Pidana sebagaimana dijelaskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam hal ini, antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Maka, melalui Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam praktiknya diharapkan mampu menutup celah kesewenang-wenangan oknum penyidik dalam menangkap dan memeriksa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Artinya, kini setiap masyarakat yang sejatinya melekat dalam dirinya hak asasi manusia lebih terlindungi dengan adanya ketentuan pasal tersebut.

Penulis cukup optimis dengan adanya Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut, mampu mengatasi abuse of power penyidik terhadap terperiksa di kepolisian, dengan catatan tidak adanya celah antara das sollen dengan das sein. Artinya, para aparat penegak hukum yang mana dalam hal ini adalah para penyidik di kepolisian harus menarik diri mereka dalam stereotipe yang buruk dan segera kembali kepada Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjadi pedoman sikap, perilaku, dan perbuatan para anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, serta tanggung jawabnya.

Secara keseluruhan, pengesahan KUHAP khususnya Pasal 32 yang menjamin hak setiap Terperiksa untuk didampingi Advokat, serta memberi ruang bagi Advokat untuk menyatakan keberatan terhadap tindakan Penyidik merupakan langkah konkret Pemerintah Indonesia sebagai Duty Bearers untuk memperbaiki rekam jejak buruk praktik salah tangkap dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, sekaligus memperkuat Asas Praduga Tak Bersalah dan perlindungan hak asasi manusia. Ketentuan ini menghadirkan mekanisme kontrol langsung dalam proses pemeriksaan sehingga diharapkan mampu menutup celah abuse of power yang selama ini melukai kepercayaan publik, serta sejalan dengan Misi Demokratisasi Hukum Pidana yang menempatkan KUHP dan KUHAP sebagai dua instrumen yang saling melengkapi dalam membangun sistem peradilan pidana yang lebih berkeadilan. Namun, efektivitas perubahan normatif ini tetap bergantung pada konsistensi implementasi, integritas penyidik, dan penegakan Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia agar tidak terjadi kesenjangan antara das sollen dan das sein, sehingga reformasi hukum yang dihadirkan benar-benar memberikan rasa aman dan jaminan perlindungan bagi masyarakat sebagai Rights Holders.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *