Bima— Setiap kali hujan deras mengguyur wilayah Bima dan Dompu, yang datang bukanlah berkah, melainkan bencana. Sungai meluap, sawah tertimbun lumpur, dan rumah-rumah warga hanyut terbawa arus. Ironisnya, bencana itu bukan semata akibat cuaca ekstrem, melainkan dampak dari ulah manusia yang menebang hutan tanpa kendali. Penggundulan hutan besar-besaran di Nusa Tenggara Barat telah menimbulkan luka ekologis yang mendalam sekaligus memperlihatkan lemahnya penegakan hukum dalam melindungi alam dan masyarakat kecil.
“Manusia adalah bagian dari alam; merusak alam berarti merusak dirinya sendiri.” Bernard L. Tanya, Moralitas dalam Penegakan Hukum Pidana (2018)
Alam yang Dikhianati Dalam perspektif hukum dan moral, hukum tanpa etika hanyalah alat kekuasaan yang buta. Hukum pidana seharusnya berfungsi menegakkan nilai moral, bukan sekadar menghukum. Deforestasi yang terjadi di Bima dan Dompu bukan hanya pelanggaran hukum positif, tetapi juga pengingkaran terhadap moralitas Pancasila — nilai keadilan sosial, keseimbangan alam, dan tanggung jawab antargenerasi.
Larangan merusak alam bahkan telah diingatkan dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56)
Ayat ini menegaskan bahwa menjaga kelestarian hutan adalah kewajiban spiritual sekaligus moral. Ketika manusia mengubah hutan menjadi lahan tanpa perencanaan ekologis, ia sejatinya sedang melawan tatanan Ilahi yang menyeimbangkan bumi.
Kejahatan Lingkungan sebagai Delik Pidana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan, setiap tindakan yang menyebabkan kerusakan ekosistem dapat dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
KUHP baru, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, juga menegaskan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana lingkungan.
Namun, praktik penegakan hukum di lapangan masih menghadapi dilema. Pembalakan liar dan pembakaran hutan sering kali melibatkan jaringan bisnis besar, sementara petani kecil justru menjadi korban sistem ekonomi yang timpang. Mereka membuka lahan bukan karena keserakahan, tetapi karena tuntutan hidup.
Dilema Penegakan Hukum dan Realitas Sosial. Paradoks hukum pidana lingkungan di daerah muncul: siapa yang harus dihukum—korporasi besar yang memfasilitasi pembukaan hutan, atau petani kecil yang sekadar mencari penghidupan?
Menegakkan hukum tanpa memahami akar sosial-ekonomi sama saja menegakkan hukum di atas tanah gersang. Hukum kehilangan makna keadilan bila hanya menjerat yang lemah, sementara yang kuat dibiarkan. Sebaliknya, membiarkan pelanggaran atas nama ekonomi berarti melegitimasi kehancuran ekologi.
Diperlukan pendekatan restoratif, bukan semata represif. Pelaku utama harus ditindak tegas, sementara masyarakat kecil perlu dibina melalui pendekatan kultural dan pemberdayaan ekonomi alternatif.
Nilai Kearifan Lokal sebagai Fondasi Hukum Ekologis Masyarakat Bima dan Dompu memiliki trilogi nilai luhur: Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu, dan Ngaha Aina Ngoho — tiga pilar moral yang dapat dijadikan dasar penegakan hukum lingkungan berbasis budaya
Maja Labo Dahu (malu dan takut berbuat salah) membentuk kesadaran batiniah untuk tidak merusak alam.
Nggahi Rawi Pahu (berkata dan berbuat benar) menegaskan kejujuran ekologis: menjaga keseimbangan antara kata dan tindakan dalam mencintai alam.
Ngaha Aina Ngoho (makanlah secukupnya, jangan rusak alamnya) mengajarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian.
Ketiga nilai ini sejalan dengan konsep living law yang tumbuh dari budaya masyarakat. Jika diintegrasikan ke dalam kebijakan hukum nasional, kearifan lokal ini dapat memperkuat paradigma restorative ecological justice yang berakar dari moral dan budaya setempat.
Sinergi Hulu ke Hilir Permasalahan deforestasi di Bima dan Dompu tidak dapat diselesaikan secara sektoral. Diperlukan sinergi menyeluruh antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, dan masyarakat.
Hulu (Pencegahan): Pemerintah harus memperketat izin tata guna lahan dan menerapkan pengawasan berbasis teknologi.
Tengah (Penegakan dan Edukasi): Hukum harus ditegakkan tegas terhadap pelaku besar disertai edukasi ekologis kepada masyarakat.
Hilir (Pemulihan): Rehabilitasi hutan harus melibatkan masyarakat dengan kewajiban menanam kembali dan memulihkan fungsi ekologis.
Bima dan Dompu merupakan satu kesatuan ekologis. Ketika hutan di Bima gundul, banjir di Dompu tak terelakkan. Kolaborasi lintas wilayah menjadi keharusan hukum dan moral.
Penutup: Menegakkan Keadilan Ekologis
Hukum pidana yang berkeadilan bukanlah yang hanya menghukum, melainkan yang menegakkan moralitas dan memulihkan kehidupan. Sebagaimana dikemukakan Prof. Romli Atmasasmita, hukum harus memberikan kemanfaatan bagi manusia dan lingkungan.
Penggundulan hutan di Bima dan Dompu bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi dosa ekologis — pelanggaran terhadap hukum alam dan hukum manusia sekaligus. Bila manusia terus mengingkarinya, maka alam akan menegakkan hukumnya sendiri: banjir, longsor, dan kekeringan.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…”. (QS. Ar-Rum: 41)
Penulis : Ady Irawan, SH., MH Dosen STKIP Taman Siswa Bima



